Kalender Jawa Lengkap dengan Weton dan Makna Filosofinya
radarjawa.web.id Bagi masyarakat Jawa, waktu bukan sekadar penanda hari.
Kalender Jawa menyimpan filosofi mendalam tentang hubungan antara manusia, alam, dan kehidupan spiritual.
Salah satu elemen penting dalam sistem penanggalan ini adalah weton, yang diyakini memiliki makna tertentu terkait karakter, keberuntungan, hingga hari baik untuk melakukan kegiatan penting.
Sistem kalender Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang memerintah pada abad ke-17.
Sultan Agung menggabungkan sistem kalender Saka (Hindu) dan Hijriah (Islam) untuk menciptakan penanggalan khas Nusantara yang tetap relevan dengan konteks budaya dan keagamaan masyarakat Jawa saat itu.
Kalender Jawa masih digunakan hingga sekarang, terutama untuk menentukan hari baik pernikahan, khitanan, pindah rumah, membuka usaha, dan berbagai kegiatan adat lainnya.
Siklus Hari dalam Kalender Jawa
Berbeda dengan kalender Masehi yang hanya memiliki siklus tujuh hari, kalender Jawa memiliki dua sistem perhitungan waktu yang berjalan bersamaan, yaitu:
- Siklus Mingguan (Saptawara)
Terdiri dari tujuh hari seperti dalam kalender umum: Ahad (Minggu), Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. - Siklus Pasaran (Pancawara)
Siklus ini terdiri dari lima hari yang dikenal sebagai Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kedua siklus ini berputar secara bersamaan, sehingga setiap hari akan memiliki kombinasi unik antara hari dan pasaran.
Misalnya, seseorang bisa lahir pada Selasa Kliwon, Jumat Legi, atau Rabu Pahing.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai weton — gabungan dari hari dan pasaran yang menjadi dasar perhitungan karakter seseorang dalam tradisi Jawa.
Makna dan Fungsi Weton
Dalam budaya Jawa, weton memiliki makna yang sangat penting.
Selain digunakan untuk mengenali watak dan nasib seseorang, weton juga menjadi dasar perhitungan dalam berbagai ritual tradisional.
Setiap kombinasi hari dan pasaran dianggap memiliki energi tertentu.
Misalnya, mereka yang lahir pada Senin Pon sering dianggap memiliki karakter tekun dan bertanggung jawab, sedangkan Kamis Kliwon diyakini membawa keberuntungan dalam hal rezeki dan hubungan sosial.
Selain itu, masyarakat Jawa juga menggunakan perhitungan weton untuk menentukan hari baik (dino apik) dan hari kurang baik (dino ala).
Hari baik biasanya dipilih untuk acara penting seperti pernikahan, memulai bisnis, hingga membangun rumah.
Perhitungan weton juga masih digunakan oleh sebagian masyarakat pedesaan dalam menentukan waktu panen, menanam padi, atau memelihara hewan ternak.
Nilai Filosofis di Balik Kalender Jawa
Lebih dari sekadar sistem penanggalan, kalender Jawa menyimpan nilai filosofi yang sangat dalam.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, waktu bukan hanya sesuatu yang linier, melainkan bersifat siklik — terus berputar dan berulang.
Filosofi ini mengajarkan manusia untuk hidup seimbang dengan alam dan menghargai setiap momen kehidupan.
Siklus hari, bulan, dan pasaran dianggap sebagai simbol keteraturan kosmos yang mencerminkan keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Selain itu, tradisi menghitung weton juga menjadi cara introspeksi diri.
Orang Jawa percaya bahwa dengan mengetahui weton, seseorang bisa memahami kelebihan dan kekurangannya sendiri, lalu memperbaikinya agar mencapai keseimbangan hidup.
Hubungan Weton dengan Spiritualitas
Bagi sebagian masyarakat, weton juga memiliki kaitan erat dengan unsur spiritual.
Weton sering digunakan untuk mengetahui potensi spiritual seseorang atau kecocokan antarindividu, misalnya dalam perjodohan.
Perhitungan jodoh berdasarkan weton dikenal dengan istilah petungan Jawa.
Dalam proses ini, setiap pasangan dihitung jumlah neptunya (nilai numerik dari kombinasi hari dan pasaran).
Jika hasilnya baik, hubungan dianggap selaras. Namun jika tidak cocok, biasanya dilakukan ritual atau doa tertentu untuk menetralisir energi negatif.
Meskipun banyak generasi muda yang kini tidak terlalu mempercayainya, praktik ini masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat tradisional di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Kalender Jawa dalam Kehidupan Modern
Di era digital seperti sekarang, kalender Jawa tetap memiliki tempat istimewa.
Banyak aplikasi dan situs daring menyediakan fitur kalender Jawa lengkap dengan weton, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengecek hari lahir atau menentukan waktu terbaik untuk suatu kegiatan.
Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan juga terus berupaya melestarikan sistem penanggalan ini.
Selain menjadi warisan budaya tak benda, kalender Jawa juga dinilai sebagai simbol kearifan lokal yang mengajarkan keseimbangan antara logika dan spiritualitas.
Beberapa sekolah di Jawa bahkan mulai memperkenalkan pelajaran tentang penanggalan tradisional Nusantara, agar generasi muda mengenal akar budayanya sendiri.
Langkah ini diharapkan dapat menjaga warisan pengetahuan yang telah berusia ratusan tahun.
Weton dan Identitas Budaya Jawa
Kalender Jawa dengan sistem wetonnya tidak hanya menjadi alat menghitung waktu, tetapi juga cerminan identitas budaya.
Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa memandang kehidupan secara holistik — menggabungkan unsur rasional, emosional, dan spiritual dalam satu kesatuan.
Dengan memahami weton, masyarakat tidak hanya belajar tentang hitungan hari, tetapi juga tentang keseimbangan hidup, introspeksi diri, dan penghormatan terhadap waktu.
Bagi orang Jawa, waktu bukan sekadar angka di kalender.
Ia adalah cerminan dari harmoni semesta — tempat manusia belajar untuk selaras dengan alam dan menghormati setiap perjalanan hidup yang dijalani.
Kesimpulan
Kalender Jawa adalah warisan budaya yang kaya akan makna dan filosofi.
Sistem perhitungan hari dengan kombinasi tujuh hari dan lima pasaran menciptakan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki peradaban lain.
Meski zaman terus berubah, nilai-nilai yang terkandung dalam kalender Jawa tetap relevan.
Ia mengajarkan manusia untuk hidup seimbang, introspektif, dan menghargai waktu sebagai bagian dari harmoni alam semesta.

Cek Juga Artikel Dari Platform faktagosip.web.id
